Sekretariat : Jl. Brantas EJ-10 Wisma Tropodo
Telp. (031) 8686159 Waru - Sidoarjo - Jawa Timur
E-mail : pkstropodo@gmail.com

Indonesian Bloggers Condemn Israel
Komentar Anda

Name :
Web URL :
Message :


Artikel Terbaru

Awal Sebuah Gagasan


Arsip Lama



Powered by Blogger
Sunday, August 13, 2006
Ketenangan Dalam Kebenaran

Gemerlapnya dunia, dengan semerbak fasilitas yang sangat mudah dinikmati, ternyata tak mampu mendatangkan ketentraman. Bukti nyata untuk argument ini, betapa banyak manusia yang telah mencapai puncak karir dan harta yang direguk telah melimpah Dengan kedudukannya ia memiliki kekuasaan dan segala atribut

Penghormatan dan penghargaan tersemat di dadanya. Namun tak urung, manakala tersandung banyak masalah, ternyata ia menjadi lemah, putus asa dan apatis menghadapi hingar bingar dunia. Bahkan ada yang kemudian mengambil jalan pintas, mengakhiri hidupnya dengan membunuh diri. Karena ternyata, dunia yang ia raih tak memberi ketenangan hidup.

Fenomena lain, ada sebagian lain yang mengalihkan cara hidupnya dengan melupakan dunia. Mencoba mencari terapi agar kegelisahan dan kegundahan hatinya bisa terobati. Ia mencoba berbagai cara. Ada yang melakukan dengan bersemedi, bertapa, meditasi, yang intinya dengan melakukan kontemplasi, merenungkan makna kehidupan dan hakikat di balik kehidupan.

Pada perjalanan berikutnya, perilaku semacam ini juga dijadikan sebagai sarana pengobatan berbagai penyakit. Konon, penyakin menahun bisa disembuhkan dengan cara-cara yang tidak jauh berbeda dengan terapi “psikologis” tersebut. Hingga tatkala penyakit yang dideritanya sembuh, kemudian muncul pembenaran, bahwa terapi - terapi dan prakek sejenisnya mengandung kebenaran.

Yang pantas direnungkan, bukankah semacam ini persis dengan seseorang yang mencari kesembuhan dari penyakit kronis yang dideritanya, sementara dokter sudah angkat tangan dari penyakinya tersebut, lalu akhirnya, orang berobat ke dukun, kemudian sembuh. Maka, apakah kesembuhannya bisa ia jadikan dalil atas bolehnya berobat atau mendatangi dukun? Apakah kesembuhan yang ia dapati dengan izin Allah SWT menunjukan bahwa dukun tersebut berada diatas al haq (baca : kebenaran)? Apakah kesembuhanya itu berasal dari cara yang dibenarkan oleh syariat? (lihat al Qaul al Mufid ‘ala Kitab at Tauhid, 1/531-552)

Begitu pula ketenangan. Apakah ketengan yang di peroleh dengan cara-cara seperti itu berarti menunjukkan kebenaran dan dibenarkan oleh Syar’i?

Syaikh Salim Id al Hilali, dalam kitab Manhajul Anbiya’, hal 57, setelah menjelaskan tentang asal usul ketenangan dan membawakan contoh ketenangan yang diberikan Allah kepada kaum muslimin saat situasi genting, beliau mengatakan, ketenangan inti takwa dan perbuatan baik kepada Allah adalah simbolnya.

Menarik kesimpulan dari Syaikh Salim ‘Id al Hilali, ketenangan tak bisa dilepaskan dari takwa. Adapun takwa, tidak bisa dicapai oleh seorang muslim, kecuali ia harus memperbanyak Dzikrullah. Sebagai wujud taqarrub illah, dengan beribadah kepada Allah swt

Sebagai Ibadah, Ia harus di kembalikan kepada makna umum. Bahwa ibadah mempunyai dua syarat, Pertama, ikhlas ditujukan hanya untuk Allah. Kedua, mengikuti petunjuk Rosulullah saw, yaitu tidak melakukan kegiatan peribadatan apapun, kecuali berdasarkan apa yang di syariatkan Rosulullah saw.

Oleh karena itu, siapa pun yang ingin mencapai ketenangan, semestinya kembali kepada hakikat ibadah sehingga ketenangan yang ia peroleh berasal dari kebenaran yang hakiki, yaitu datang dari Allah , Surat ar-Rad (13) ayat 28 menyebutkan “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah- lah hati menjadi tentram”

Syaikh Abdul Rahman bin Nashir as Sa’di, seorang ulama besar yang hidup antara tahun 1307 H -1376 H menjelaskan lebih rinci ayat diatas. Beliau menyatakan, hanya dengan berdzikir mengingat Allah ( hati menjadi tentram ). Tidak ada sesuatupun yang lebih lezat dan lebih manis bagi hati dibandingkan rasa cinta, kedekatan yang benar kepada penciptanya.

Hendaknya kita merenungkan nasihat Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin dalam kitabul ‘llm, halaman 37, kewajiban seorang penuntut ilmu, hendaknya menjadi orang yang beribadah kepada Allah dengan ilmu syar’i yang ia miliki, tidak menambah dan tidak mengurangi. (Dia) tidak mengatakan “perkara yang aku pakai beribadah kepada Allah ini adalah perkara yang menyenangkan hatiku dan melapangkan dadaku”. Tidak mengatakan seperti ini. Sehingga, seandainya ia mendapatkan ketenangan, maka hendaklah menimbangnya dengan timbangan dengan timbangan syar’i. Jika ada dalil dari kitab dan sunnah maka lanjutkan jika tidak, berarti setan telah menghiasi amal buruknya. Waliyyu at Taufiq. Wallah a’lam.(Mhp)


sumber : Buletin Delta Madani

dikirim oleh : Bejo paijo | 5:47 PM

0 Komentar:

Post a Comment

<< Depan